[Review] Hercule Poirot's Christmas - Agatha Christie

Title of Book : Hercule Poirot’s Christmas (Pembunuhan di Malam Natal)
Author : Agatha Christie
Publisher : PT Gramedia Pustaka Utama

"Laki-laki tua yang lemah seperti ini, begitu kurus, kering tetapi dalam kematiannya begitu banyak darah…" Suara Hercule Poirot menghilang. Si tua Simeon Lee mengundang seluruh keluarganya untuk bersama-sama merayakan Natal di Gorston Hall. Dia menciptakan hiburan bagi dirinya sendiri dengan mempermainkan nafsu serakah mereka. Permainan ini ternyata mengusik kekuatan dan nafsu terpendam yang akhirnya membawa kematiannya. Hercule Poirot menghadapi kasus pembunuhan yang direncanakan dengan sangat cermat dan dilaksanakan dengan brilian, tetapi... ada terlalu banyak darah!



Hercule Poirot’s Christmas bercerita tentang Simeon Lee yang memutuskan untuk mengundang seluruh anggota keluarga Lee ke Gorston Hall saat natal. Selain dengan Alfred, Simeon Lee memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan anak-anaknya. George, merupakan anggota parlemen inggris yang angkuh dan memiliki gaya hidup boros. David, anak laki-laki Lee yang paling sensitif dan membenci Simeon Lee sejak kematian ibunya. Harry, si pemberontak yang meninggalkan rumah pada usia muda. Sedangkan Alfred merupakan ‘anak papi’ yang tinggal serumah dengan Simeon Lee. Selain keempat anak tersebut tentu juga ada menantu-menantu Simeon. Dari keempat anak laki-laki, hanya Harry yang belum menikah. Selain anggota keluarga, mereka juga kedatangan dua tamu yaitu Pilar Estravados dan Stephen Farr. Perayaan natal mereka terusik ketika terjadi pembunuhan mengerikan di Gorston Hall. Simeon Lee ditemukan dengan leher tersayat dan bersimbah banyak darah. Untung Hercule Poirot sedang menghabiskan malam natal tidak jauh dari Garston Hall, walaupun Poirot harus rela menghabiskan natalnya untuk memecahkan sebuah kasus. 
Entah kenapa saya merasa familiar dengan cerita buku ini. Mungkin saya pernah baca buku ini sebelumnya. Tapi tetap, ending cerita ini tidak tertebak oleh saya. Seperti biasanya Poirot mengandalkan sel-sel kelabu untuk memecahkan kasus pembunuhan ini. Poirot lebih memilih untuk melihat kasus ini dari sifat si korban sendiri. Pelan-pelan Poirot mengungkap misteri yang melingkupi pembunuhan Simeon Lee. Saya pikir seandainya pembunuhan seperti ini terjadi sekarang, mungkin pemecahannya bakal lebih cepat. Ambil DNA sana ambil DNA sini bisa langsung ketahuan pelakunya. Apalagi kasus ini termasuk kasus pembunuhan yang berantakan (dan janggal). Tapi two thumbs up buat Poirot yang bisa menebak pelaku hanya dengan modal ngobrol plus sel-sel kelabu tentunya. Buat yang suka aksi bisa jadi bakal merasa bosan karena buku ini dipenuhi dialog antara Poirot dan keluarga Lee. Memang nggak bisa dihindari, karena justru itulah metode yang dipilih Poirot untuk menyelesaikan kasus.
Buku ini adalah contoh bagus dimana siapapun bisa menjadi pembunuh. Mark my word, siapapun. Twist di buku ini bikin saya jengkel. Saya pernah nonton episode Law & Order: SVU yang punya twist mirip sama buku ini. Yet I didn’t see that one coming. So once again I’m telling you, anyone can be a suspect. 
Namun, menurut saya kebetulan-kebetulan yang mendukung Poirot dalam memecahkan kasus terkesan agak dipaksakan. Rasanya seperti kebetulan dimasukkan ke cerita agar pemecahan Poirot terdengar masuk akal. Contohnya adalah misteri di balik teriakan Simeon Lee yang terdengar tidak manusiawi dan seperti binatang. Seandainya Pilar nggak main-main sama Stephen Farr ala film India, kira-kira Poirot bisa nebak nggak ya?


No comments :

Post a Comment